BERIKABARNEWS l – Keputusan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan Polres Pidie Jaya menurunkan empat ekor gajah jinak untuk membantu membersihkan material berat pascabanjir di Pidie Jaya menuai beragam tanggapan publik. Hewan-hewan ini dikerahkan untuk menarik kayu dan material yang terseret arus banjir, sekaligus mendukung kegiatan trauma healing bagi anak-anak korban.
Menurut Kapolres Pidie Jaya, AKBP Ahmad Faisal Pasaribu, gajah-gajah dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Sare memiliki pengalaman menangani bencana, termasuk pemulihan pascatsunami Aceh pada 2004. Kehadiran mereka tidak hanya untuk logistik, tetapi juga menghadirkan suasana ceria bagi anak-anak.
“Gajah-gajah ini kita datangkan bukan hanya untuk mengangkat material berat, tetapi juga untuk kegiatan trauma healing bagi anak-anak korban banjir,” jelas Kapolres.
Meski memiliki tujuan ganda, penggunaan gajah ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan publik figur. Beberapa netizen di media sosial X menyuarakan keberatan mereka, mempertanyakan penggunaan gajah sebagai “alat berat” sementara pemerintah memiliki anggaran untuk peralatan mekanis modern.
Baca Juga : Bareskrim Telusuri Sumber Gelondongan Kayu Terbawa Banjir di Sumatera
Seniman Sherina bahkan mengunggah kritik melalui InstaStory dan surat terbuka, menegaskan bahwa gajah adalah makhluk cerdas, sosial, dan penuh perasaan. Ia menyatakan:
“Gajah bukan alat berat. Mereka adalah makhluk cerdas, sosial, dan penuh perasaan, yang justru selama ini paling terdampak ketika habitat mereka hilang dan terfragmentasi.”
Saat ini, populasi gajah Sumatera di Aceh diperkirakan berkisar antara 500 hingga 600 individu, menjadikannya bagian signifikan dari populasi gajah Sumatera yang tersisa.
Keputusan penggunaan gajah dalam operasi pascabanjir menyoroti dilema antara konservasi satwa liar dan kebutuhan darurat manusia, sekaligus memicu diskusi luas mengenai perlindungan hewan dan respons bencana. (dew)
